Banyak manusia yang hidup di dunia ini
menginginkan kehidupan yang bebas dan tidak terkekang dengan berbagai
aturan. Sampai-sampai karena kuatnya keinginan ini mereka tidak lagi
mengindahkan norma-norma agama, sebab mereka menganggap agama sebagai
belenggu semata.
Meskipun faktanya, kebebasan yang tanpa
batas mustahil terwujud di dunia ini. Karena perbuatan yang dilakukan
oleh manusia sering dipengaruhi oleh dorongan hawa nafsu, sehingga
ketika seseorang meninggalkan norma-norma agama otomatis dia akan
terjerumus mengikuti aturan hawa nafsunya yang dikendalikan oleh setan,
dan ini merupakan sumber malapetaka terbesar bagi dirinya. Karena hawa
nafsu manusia selalu menggiring kepada keburukan dan kerusakan,
sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya nafsu (manusia) itu selalu menyuruh kepada keburukan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabbku” (QS Yusuf:53).
Arti Kebebasan yang Hakiki
Berdasarkan keterangan di atas, maka kebebasan hakiki yang mendatangkan kebahagiaan dan kesenangan hidup bagi manusia tidak mungkin dicapai dengan meninggalkan norma-norma agama,
bahkan sebaliknya ini merupakan kesempitan hidup dan belenggu yang
sebenarnya, sebagaimana yang terungkap dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya dia (akan merasakan) kehidupan yang sempit (di dunia)[1], dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta” (QS Thaaha: 124).
Sebaliknya, Allah Ta’ala
menegaskan bahwa kebahagiaan hidup yang hakiki hanyalah akan dirasakan
oleh orang yang berkomitmen dengan agama-Nya dan tunduk kepada
hukum-hukum syariat-Nya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa
yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam
keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan
yang baik (di dunia), dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada
mereka (di akhirat) dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah
mereka kerjakan” (QS. an-Nahl: 97). Para ulama salaf menafsirkan
makna “kehidupan yang baik (di dunia)” dalam ayat di atas dengan
“kebahagiaan (hidup)” atau “rezki yang halal dan baik” dan
kebaikan-kebaikan lainnya yang mencakup semua kesenangan hidup yang
hakiki[2].
Sebagaimana Allah Ta’ala
menjadikan kelapangan dada dan ketenangan jiwa dalam menerima syariat
Islam merupakan ciri orang yang mendapat petunjuk dari-Nya, dan
kesempitan serta terbelenggunya jiwa merupakan pertanda orang yang
tersesat dari jalan-Nya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa
yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia
melapangkan dadanya untuk (menerima agama) Islam. Dan barangsiapa yang
dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak
lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki kelangit. Begitulah Allah
menimpakan keburukan/siksa kepada orang-orang yang tidak beriman” (QS al-An’aam:125).
Maka melepaskan diri dari aturan-aturan agama Islam dengan dalih kebebasan berarti justru menjebloskan
diri kedalam penjara hawa nafsu dan belenggu setan yang akan
mengakibatkan kesengsaraan dan penderitaan berkepanjangan di dunia dan
akhirat.
Dalam hal ini, para ulama mengumpamakan kebutuhan manusia terhadap petunjuk Allah Ta’ala
dalam agama-Nya adalah seperti kebutuhan ikan terhadap air[3]. Maka
jika demikian apakah mungkin dikatakan kebebasan hidup bagi ikan adalah
jika terlepas dari air, padahal sudah diketahui bahwa tidak mungkin ikan
akan bertahan hidup tanpa air?.
Tauhid Membebaskan Manusia dari Penghambaan Diri kepada Makhluk
Landasan utama Islam, tauhid, yang berarti pemurnian ibadah dan penghambaan diri kepada Allah Ta’ala
semata dan berpaling dari penghambaan diri kepada selain-Nya, adalah
bukti terbesar yang menunjukkan adanya kebebasan yang hakiki dalam
Islam.
Betapa tidak, orang yang benar-benar
meyakini dan mengamalkan tauhid dalam hidupnya, maka dia akan terlepas
dari semua belenggu penghambaan diri kepada makhluk yang tidak punya
kemampuan untuk memberikan manfaat maupun bahaya kepada dirinya, untuk
menuju kepada penghambaan diri kepada Allah Ta’ala, yang di
tangan-Nyalah segala kebaikan, dan Dialah satu-satunya pencipta, pemberi
rezki dan pengatur alam semesta ini.
Inilah makna ucapan sahabat yang mulia
Rib’iy bin ‘Amir ketika ditanya oleh salah seorang pembesar kafir,
“(Seruan dakwah) apakah yang kalian bawa?”. Maka beliau menjawab: “Allah
yang mengutus kami untuk mengeluarkan (membebaskan) siapa yang
dikehendaki-Nya dari penghambaan diri kepada makhluk kepada penghambaan
diri kepada-Nya (semata), dan dari kesempitan (belenggu) dunia kepada
kelapangannya, serta dari kezhaliman (aturan) agama-agama (lain) kepada
keadilan Islam”[4].
Di samping itu, setiap manusia terlahir
dengan kecenderungan untuk menghambakan diri dan tunduk kepada sesuatu,
maka jika kecenderungan ini tidak diarahkan kepada penghambaaan diri
yang benar, yaitu kepada Allah Ta’ala, maka dengan sendirinya setanlah yang akan menggiringnya menjadi hamba bagi hawa nafsunya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka
pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
sembahannya dan Allah menjadikannya tersesat berdasarkan ilmu-Nya, dan
Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan
atas penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk
sesudah Allah (membiarkannya sesat)?. Maka mengapa kamu tidak mengambil
pelajaran” (QS al-Jaatsiyah:23).
Makna ayat ini: pernahkah kamu melihat
orang yang menjadikan agamanya (apa yang sesuai) dengan hawa nafsunya,
sehingga tidaklah dia menyukai sesuatu (menurut hawa nafsunya) kecuali
dia akan mengikutinya. Karena dia tidak beriman kepada Allah, tidak
mengharamkan apa yang diharamkan-Nya dan tidak menghalalkan apa yang
dihalalkan-Nya. (Cara) beragamanya adalah apa yang diinginkan oleh hawa
nafsunya maka itulah yang dikerjakannya[5].
Kerancuan dan Jawabannya
Orang-orang yang berpenyakit dalam
hatinya berusaha mencari-cari dalih untuk mendiskreditkan Islam dan
mengesankan bahwa aturan-aturan syariat Islam adalah belenggu yang
mengekang kebebasan manusia. Padahal kalau diperhatikan dengan seksama
semua dalih yang mereka kemukakan justru membantah pemahaman mereka dan
bukan mendukungnya[6].
Di antara dalih yang mereka kemukakan adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mereka pahami dengan keliru:
- “Dunia ini adalah penjara (bagi) orang yang beriman dan surga (bagi) orang kafir”[7].
Jawab: Penafsiran yang benar dari hadits ini ada dua – seperti kata Ibnul Qayyim dalam kitab beliau “Badaai’ul fawaaid” (3/696) –, yaitu:
- Orang yang beriman di dunia ini, keimanannya yang kuat menghalangi dia untuk memperturutkan nafsu syahwat yang diharamkan oleh Allah Ta’ala, sehingga dengan keadaan ini seolah-olah dia hidup dalam penjara. Atau dengan kata lain: dunia ini adalah tempat orang yang beriman memenjarakan hawa nafsunya dari perbuatan-perbuatan yang diharamkan oleh Allah Ta’ala, berbeda dengan orang kafir yang hidup bebas memperturutkan nafsu syahwatnya[8].
- Makna: “Dunia ini adalah penjara (bagi) orang yang beriman dan surga (bagi) orang kafir”, adalah jika dibandingkan dengan keadaan/balasan orang yang beriman dan orang kafir di akhirat nanti, karena orang yang beriman itu meskipun hidupnya di dunia paling senang dan bahagia, tetap saja keadaan tersebut seperti penjara jika dibandingkan dengan besarnya balasan kebaikan dan kenikmatan yang Allah Ta’ala sediakan baginya di surga di akhirat kelak. Dan orang kafir meskipun hidupnya di dunia paling sengsara dan menderita, tetap saja keadaan tersebut seperti surga jika dibandingkan dengan pedihnya balasan keburukan dan siksaan yang Allah Ta’ala akan timpakan kepadanya di neraka di akhirat nanti[9].
Maka jelaslah hadits ini sama sekali
tidak menunjukkan apa yang mereka tuduhkan terhadap Islam, bahkan
sebaliknya hadits ini menjelaskan dengan gamblang keindahan syariat
Islam.
- Mereka juga berdalih dengan beberapa
hukum dalam syariat Islam, seperti kewajiban memakai jilbab (pakaian
yang menutupi semua aurat secara sempurna[10]) bagi perempuan muslimah
ketika berada di luar rumah. Mereka mengatakan bahwa jilbab merupakan
belenggu yang mengekang kebebasan kaum perempuan.
Jawab: Hikmah besar diwajibkannya hijab bagi perempuan adalah justru untuk membebaskan dan menyelamatkan mereka dari gangguan dan kejahatan orang-orang yang mempunyai keinginan buruk, sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Hai
Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan
istri-istri orang mukmin agar hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih
mudah untuk dikenal, sehingga mereka tidak diganggu/disakiti. Dan Allah
adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS al-Ahzaab:59).
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata,
“Ini menunjukkan bahwa gangguan (bagi wanita dari orang-orang yang
berakhlak buruk) akan timbul jika wanita itu tidak mengenakan jilbab
(yang sesuai dengan syariat). Hal ini dikarenakan jika wanita tidak
memakai jilbab, boleh jadi orang akan menyangka bahwa dia bukan wanita
yang ‘afifah (terjaga kehormatannya), sehingga orang yang ada
penyakit (syahwat) dalam hatiya akan mengganggu dan menyakiti wanita
tersebut, atau bahkan merendahkan/melecehkannya… Maka dengan memakai
jilbab (yang sesuai dengan syariat) akan mencegah (timbulnya)
keinginan-keinginan (buruk) terhadap diri wanita dari orang-orang yang
mempunyai niat buruk”[11].
- Dalih lain yang mereka gunakan adalah
kewajiban memasang hijab/tabir untuk melindungi perempuan dari pandangan
laki-laki yang bukan mahramnya. Mereka mengatakan bahwa ini semua
merupakan belenggu yang mengekang kebebasan kaum perempuan.
Jawab: Hikmah agung kewajiban memasang hijab/tabir adalah justru untuk membebaskan
laki-laki dan perempuan yang beriman dari kekotoran hati dan fitnah
(kerusakan) yang mungkin timbul tanpa adanya hijab/tabir. Maka adanya
hijab/tabir antara laki-laki dan perempuan bertujuan untuk menjaga
kesucian hati mereka. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),”Dan
apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri
Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih
suci bagi hatimu dan hati mereka” (QS al-Ahzaab:53).
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu syaikh
berkata, “(Dalam ayat ini) Allah menyifati hijab/tabir sebagai kesucian
bagi hatinya orang-orang yang beriman, laki-laki maupun perempuan,
karena mata manusia kalau tidak melihat (sesuatu yang mengundang
syahwat, karena terhalangi hijab/tabir) maka hatinya tidak akan
berhasrat (buruk). Oleh karena itu, dalam kondisi ini hati manusia akan
lebih suci, sehingga (peluang) tidak timbulnya fitnah (kerusakan) pun
lebih besar, karena hijab/tabir benar-benar mencegah (timbulnya)
keinginan-keinginan (buruk) dari orang-orang yang ada penyakit (dalam)
hatinya”[12].
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin. [Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA]
_____________
[1] Tafsir Ibnu Katsir (3/227).
[2] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (2/772).
[3] Lihat kitab “al-Waabilush shayyib” (hal. 63).
[4] Dinukil oleh imam Ibnu Katsir dalam kitab “al-Bidayah wan nihayah” (7/39).
[5] Kitab “Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari” (22/75).
[6] Lihat keterangan syaikh al-‘Utsaimin dalam kitab “syarhul ‘aqiidatil waashithiyyah” (1/457).
[7] HSR Muslim (no. 2956).
[8] Penafsiran ini juga disebutkan oleh imam an-Nawawi dalam kitab “Syarhu shahihi Muslim” (18/93).
[9] Penafsiran ini juga disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah dalam kitab “Qaa’idatun fil mahabbah” (hal. 175).
[10] Lihat kitab “hiraasatul fadhiilah” (hal. 53).
[11] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 489).
[12] Kitab “al-Hijaabu wa fadha-iluhu” (hal. 3).
[2] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (2/772).
[3] Lihat kitab “al-Waabilush shayyib” (hal. 63).
[4] Dinukil oleh imam Ibnu Katsir dalam kitab “al-Bidayah wan nihayah” (7/39).
[5] Kitab “Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari” (22/75).
[6] Lihat keterangan syaikh al-‘Utsaimin dalam kitab “syarhul ‘aqiidatil waashithiyyah” (1/457).
[7] HSR Muslim (no. 2956).
[8] Penafsiran ini juga disebutkan oleh imam an-Nawawi dalam kitab “Syarhu shahihi Muslim” (18/93).
[9] Penafsiran ini juga disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah dalam kitab “Qaa’idatun fil mahabbah” (hal. 175).
[10] Lihat kitab “hiraasatul fadhiilah” (hal. 53).
[11] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 489).
[12] Kitab “al-Hijaabu wa fadha-iluhu” (hal. 3).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar