Kaum muslimin yang dimuliakan Allah…
Keimanan kita kepada agama Islam tidak mungkin dipisahkan dengan
penghormatan kepada orang-orang yang sangat besar jasanya kepada kita.
Mereka adalah para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang-orang yang telah menginfakkan umurnya untuk membela dakwah dan menyampaikannya kepada generasi sesudahnya.
Setiap mukmin tentu jatuh cinta ketika
membaca pujian demi pujian yang Allah dan Rasul-Nya tujukan kepada
mereka. Setiap muslim pun akan terharu tatkala melihat besarnya
pengorbanan yang mereka berikan demi tegaknya agama! Karena bagi mereka
iman dan tauhid jauh lebih berharga di atas segala kenikmatan dunia.
Bukan hanya harta, waktu, pikiran, dan tenaga yang mereka curahkan.
Bahkan nyawa pun rela untuk mereka persembahkan…
[1] Surga Untuk mereka
Para Sahabat Nabi adalah orang-orang yang telah mendapat janji Surga dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Sebuah keistimewaan yang tidak bisa ditukar dengan emas. Bahkan, dunia
dan seisinya tidak ada apa-apanya dibandingkan secuil kenikmatan di
Surga! Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang
yang terdahulu dan pertama-tama dari kalangan Muhajirin dan Anshar, dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah meridhai mereka,
dan mereka pun meridhai-Nya. Allah sediakan untuk mereka surga-surga
yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya untuk
selama-lamanya. Itulah kemenangan yang sangat besar.” (QS. at-Taubah: 100)
[2] Mereka Sebaik-baik Manusia
Apabila kita ingin menjadi orang baik,
tentu saja kita ingin meniru dan mempelajari keteladanan orang-orang
yang baik pula. Kebaikan yang dengannya kita akan selamat dari azab
Allah dan meraih keutamaan di sisi-Nya. Sementara para Sahabat adalah
barisan terdepan dari orang-orang terbaik di muka bumi ini. Dari Ibnu
Mas’ud radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik
manusia adalah di jamanku, kemudian orang-orang yang mengikuti mereka,
kemudian orang-orang sesudahnya yang mengikuti mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
[3] Tidak Ada Yang Menandingi Mereka
Adakah diantara kita orang kaya raya
yang mampu dan mau berinfak emas sebesar gunung? Kalaupun ada,
ketahuilah bahwa infak semahal itu belum bisa mengalahkan infak seorang
Sahabat, walaupun hanya segenggam tangan! Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah
kalian mencela para Sahabatku! Seandainya salah seorang diantara kalian
ada yang berinfak dengan emas sebesar gunung Uhud, niscaya hal itu
tidak akan bisa menandingi kualitas infak mereka yang hanya satu
mud/genggaman dua telapak tangan, bahkan setengahnya pun tidak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
[4] Para Sahabat Laksana Bintang
Para Sahabat adalah penjaga (Kebenaran
dan Keutuhan) umat ini. Ketika mereka pergi maka berbagai masalah dan
kekacauan pun merebak di tengah umat manusia. Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bintang-bintang
adalah penjaga bagi langit. Apabila bintang-bintang itu lenyap maka
akan menimpa langit apa yang dijanjikan atasnya (kehancuran). Aku adalah
penjaga bagi para Sahabatku. Apabila aku pergi maka akan menimpa mereka
apa yang dijanjikan atas mereka. Para Sahabatku juga menjadi penjaga
bagi umatku. Apabila para Sahabatku telah pergi maka akan menimpa umatku
apa yang dijanjikan atas mereka.” (HR. Muslim)
[5] Deretan Sahabat Terbaik
Siapakah yang meragukan keutamaan para Sahabat terbaik semacam Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhum? Putra Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu yang bernama Muhammad bin al-Hanafiyah pernah bertanya kepada ayahnya, “Aku bertanya kepada ayahku: Siapakah orang yang terbaik setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”. Beliau menjawab, “Abu Bakar.” Aku bertanya lagi, “Lalu siapa?”. Beliau menjawab, “’Umar.” Dan aku khawatir jika beliau mengatakan bahwa ‘Utsman adalah sesudahnya, maka aku katakan, “Lalu anda?”. Beliau menjawab, “Aku ini hanyalah seorang lelaki biasa di antara kaum muslimin.” (HR. Bukhari)
Mereka adalah orang-orang terbaik yang
menjadi teladan bagi kaum muslimin dalam hal ilmu dan amalan, contoh
dalam hal kejujuran dan kedermawanan, teladan dalam hal keberanian dan
kesabaran. Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu’anhu’anhuma berkata, “Dahulu
di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup kami
memilih-milih siapakah orang yang terbaik. Maka menurut kami yang
terbaik di antara mereka adalah Abu Bakar, kemudian ‘Umar, kemudian
‘Utsman bin ‘Affan. Semoga Allah meridhai mereka semuanya.” (HR. Bukhari)
[6] Keselamatan Dengan Mengikuti Mereka
Berbagai macam konflik dan persengketaan yang timbul semenjak wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berpulangnya generasi terbaik merupakan sunnatullah
atas hamba-hamba-Nya. Tidak ada jalan keluar darinya selain berpegang
teguh dengan Sunnah beliau dan Sunnah para Khalifah yang lurus dan
terbimbing oleh hidayah. Dari al-’Irbadh bin Sariyah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya
barangsiapa diantara kalian yang masih hidup sesudahku, niscaya akan
melihat banyak perselisihan. Oleh sebab itu wajib atas kalian untuk
mengikuti Sunnahku dan Sunnah para Khulafa’ur rasyidin yang berada di
atas petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya, dan gigitlah ia dengan
gigi-gigi geraham. Jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan. Karena
setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah
sesat.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, Tirmidzi berkata: hadits hasan sahih)
[7] Bagaimana Sikap Kita?
Dengan mencermati dalil-dalil di atas, teranglah bagi kita -kaum muslimin- bahwa kecintaan dan pemuliaan kepada para Sahabat radhiyallahu’anhum
merupakan sebuah kewajiban dan kebenaran yang tidak boleh diragukan.
Maka bukanlah perilaku seorang muslim yang baik, menjelek-jelekkan para
Sahabat, menuduh mereka berkhianat, membenci mereka, apalagi sampai
mengkafirkan mereka!!
Imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah berkata, “Kita
mencintai para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
kita tidak berlebih-lebihan dalam mencintai salah seorang diantara
mereka. Kita juga tidak berlepas diri dari siapapun diantara mereka.
Kita membenci orang yang membenci mereka, dan juga orang-orang yang
menjatuhkan kehormatan mereka. Kita tidak menyebutkan mereka kecuali
dengan kebaikan. Cinta kepada mereka adalah termasuk bagian agama,
ajaran keimanan dan sikap ihsan. Adapun membenci mereka adalah
kekafiran, kemunafikan dan sikap yang melampaui batas.” (lihat al-’Aqidah ath-Thahawiyah)
al-Khathib al-Baghdadi rahimahullah meriwayatkan bahwa Imam Abu Zur’ah ar-Razi mengatakan, “Apabila
kamu melihat ada seseorang yang menjelek-jelekkan salah seorang Sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ketahuilah bahwa dia
adalah seorang zindik. Hal itu dikarenakan menurut kita Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membawa kebenaran. Demikian pula,
al-Qur’an yang beliau sampaikan adalah benar. Dan sesungguhnya yang
menyampaikan kepada kita al-Qur’an dan Sunnah-Sunnah ini adalah para
Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sesungguhnya
mereka -para pencela Sahabat- hanyalah bermaksud untuk menjatuhkan
kedudukan para saksi kita demi membatalkan al-Kitab dan as-Sunnah. Maka
mereka itu lebih pantas untuk dicela, dan mereka itu adalah orang-orang
zindik.” (lihat kitab al-Kifayah)
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Termasuk
Sunnah adalah menyebut-nyebut kebaikan seluruh para Sahabat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, menahan diri dari perselisihan yang
timbul diantara mereka. Barangsiapa yang mencela para Sahabat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam atau salah seorang diantara mereka maka
dia adalah seorang tukang bid’ah pengikut paham Rafidhah/Syi’ah.
Mencintai mereka -para Sahabat- adalah Sunnah. Mendoakan kebaikan untuk
mereka adalah ibadah. Meneladani mereka adalah sarana -beragama- dan
mengambil atsar/riwayat mereka adalah sebuah keutamaan.” (lihat kitab beliau as-Sunnah)
[8] Doa Untuk Mereka dan Untuk Kita
Sebagai orang-orang yang telah
mendapatkan hidayah kepada Islam sudah selayaknya kita berterima kasih
kepada para pendahulu kita. Karena melalui dakwah dan perjuangan mereka
(baca: para Sahabat Nabi) ajaran-ajaran Islam ini tersampaikan kepada
kita. Dikatakan dalam sebuah riwayat, “Tidak dianggap bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterima kasih kepada sesama manusia.”
Apa yang bisa kita berikan untuk para Sahabat kalau bukan doa agar
mereka -dan juga kita- senantiasa mendapatkan rahmat dan ampunan
dari-Nya. Inilah doanya orang-orang yang beriman.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya), “Adapun
orang-orang yang datang sesudah mereka -sesudah Muhajirin dan Anshar-
berdoa; Robbanaghfirlanaa wa li ikhwaaninalladziina sabaquuna bil
iimaan, wa laa taj’al fii quluubinaa ghillal liliadziina aamanuu.
Robbanaa innaka ro’uufurr rahiim. “Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan
saudara-saudara kami yang telah terlebih dahulu beriman sebelum kami,
dan janganlah Kau jadikan di dalam hati kami ada perasaan dengki
terhadap orang-orang yang beriman. Wahai Rabb kami, sesungguhnya Engkau
Maha Lembut lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Hasyr: 10)
Imam Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah berkata, “Maka
siapakah yang lebih sesat daripada orang yang di dalam hatinya terdapat
perasaan dengki terhadap kaum mukminin terbaik dan pemimpin para wali
Allah ta’ala setelah para Nabi. Bahkan Yahudi dan Nasrani memiliki satu
kelebihan di atas mereka (Pendengki). Orang Yahudi ditanya, “Siapakah
orang-orang terbaik diantara pengikut agama kalian?”. Mereka menjawab,
“Para Sahabat Musa.” Orang Nasrani ditanya, “Siapakah orang-orang
terbaik diantara pemeluk agama kalian?”. Mereka menjawab, “Para Sahabat
‘Isa.” Kaum Rafidhah/Syi’ah ditanya, “Siapakah orang-orang terjelek
diantara pengikut agama kalian?”. Mereka menjawab, “Para Sahabat
Muhammad.” Mereka tidak mengecualikan kecuali sedikit sekali. Bahkan
diantara orang yang mereka cela itu terdapat orang yang jauh lebih baik
daripada yang mereka kecualikan.” (lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah) [Abu Mushlih Ari Wahyudi, S.Si]
:: Artikel ini disarikan dari kitab Qothful Jana ad-Daani Syarh Muqoddimah Risalah Ibnu Abi Zaid al-Qairawani (hal. 155-165) karya seorang ulama ahli hadits di kota Madinah Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd al-’Abbad al-Badr hafizhahullah, dengan beberapa penambahan dan penyesuaian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar