Istilah
Ahlus Sunnah tentu tidak asing bagi kaum muslimin. Bahkan mereka semua
mengaku sebagai Ahlus Sunnah. Tapi siapakah Ahlus Sunnah itu? Dan siapa
pula kelompok yang disebut Rasulullah sebagai orang-orang asing?
Telah
menjadi ciri perjuangan iblis dan tentara-tentaranya yaitu terus
berupaya mengelabui manusia. Yang batil bisa menjadi hak dan sebaliknya,
yang hak bisa menjadi batil. Sehingga ahli kebenaran bisa menjadi
pelaku maksiat yang harus dimusuhi dan diisolir. Dan sebaliknya, pelaku
kemaksiatan bisa menjadi pemilik kebenaran yang harus dibela. Syi’ar
pemecah belah ini merupakan ciri khas mereka dan mengganggu perjalanan
manusia menuju Allah merupakan tujuan tertinggi mereka.
Tidak
ada satupun pintu kecuali akan dilalui iblis dan tentaranya. Dan tidak
ada satupun amalan kecuali akan dirusakkannya, minimalnya mengurangi
nilai amalan tersebut di sisi Allah Subhanahu Wata’ala. Iblis mengatakan
di hadapan Allah Subhanahu Wata’ala: “Karena Engkau telah menyesatkanku
maka aku akan benar-benar menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus
dan aku akan benar-benar mendatangi mereka dari arah depan dan belakang,
dan samping kiri dan samping kanan.”, (QS. Al A’raf : 17 )
Dalam
upayanya mengelabui mangsanya, Iblis akan mengatakan bahwa ahli
kebenaran itu adalah orang yang harus dijauhi dan dimusuhi, dan
kebenaran itu menjadi sesuatu yang harus ditinggalkan, dan dia
mengatakan: “Sehingga Engkau ya Allah menemukan kebanyakan mereka tidak
bersyukur.” (QS. Al A’raf: 17)
Demikian halnya yang terjadi pada
istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Istilah ini lebih melekat pada
gambaran orang-orang yang banyak beribadah dan orang-orang yang
berpemahaman sufi. Tak cuma itu, semua kelompok yang ada di tengah kaum
muslimin juga mengaku sebagai Ahlus Sunnah wal Jamaah. Walhasil, nama
Ahlus Sunnah menjadi rebutan orang. Mengapa demikian? Apakah
keistimewaan Ahlus Sunnah sehingga harus diperebutkan? Dan siapakah
mereka sesungguhnya?
Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kita
harus merujuk kepada keterangan Rasulullah Shallallahu ‘Alahi Wasallam
dan ulama salaf dalam menentukan siapakah mereka yang sebenarnya dan apa
ciri-ciri khas mereka. Jangan sampai kita yang digambarkan dalam sebuah
sya’ir:
Semua mengaku telah meraih tangan Laila
Dan Laila tidak mengakui yang demikian itu
Bahwa tidak ada maknanya kalau hanya sebatas pengakuan, sementara dirinya jauh dari kenyataan.
Secara
fitrah dan akal dapat kita bayangkan, sesuatu yang diperebutkan tentu
memiliki keistimewaan dan nilai tersendiri. Dan sesuatu yang diakuinya,
tentu memiliki makna jika mereka berlambang dengannya. Mereka mengakui
bahwa Ahlus Sunnah adalah pemilik kebenaran. Buktinya, setelah mereka
memakai nama tersebut, mereka tidak akan ridha untuk dikatakan sebagai
ahli bid’ah dan memiliki jalan yang salah. Bahkan mengatakan bahwa
dirinya merupakan pemilik kebenaran tunggal sehingga yang lain adalah
salah. Mereka tidak sadar, kalau pengakuannya tersebut merupakan langkah
untuk membongkar kedoknya sendiri dan memperlihatkan kebatilan jalan
mereka. Yang akan mengetahui hal yang demikian itu adalah yang melek
dari mereka.
As Sunnah
Berbicara tentang As Sunnah secara
bahasa dan istilah sangat penting sekali. Di samping untuk mengetahui
hakikatnya, juga untuk mengeluarkan mereka-mereka yang mengakui sebagai
Ahlus Sunnah. Mendefinisikan As Sunnah ditinjau dari beberapa sisi yaitu
sisi bahasa, syari’at dan generasi yang pertama, ahlul hadits, ulama
ushul, dan ahli fiqih.
As Sunnah menurut bahasa
As Sunnah menurut bahasa adalah As Sirah (perjalanan), baik yang buruk ataupun yang baik. Khalid bin Zuhair Al Hudzali berkata:
Jangan kamu sekali-kali gelisah karena jalan yang kamu tempuh
Keridhaan itu ada pada jalan yang dia tempuh sendiri.
As Sunnah menurut Syari’at Dan Generasi Yang Pertama
Apabila
terdapat kata sunnah dalam hadits Rasulullah atau dalam ucapan para
sahabat dan tabi’in, maka yang dimaksud adalah makna yang mencakup dan
umum. Mencakup hukum-hukum baik yang berkaitan langsung dengan keyakinan
atau dengan amal, apakah hukumnya wajib, sunnah atau boleh.
Al
Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari 10/341 berkata: “Telah tetap
bahwa kata sunnah apabila terdapat dalam hadits Rasulullah, maka yang
dimaksud bukan sunnah sebagai lawan wajib (Apabila dikerjakan mendapat
pahala dan apabila di tinggalkan tidak akan berdosa, pent.).”
Ibnu
‘Ajlan dalam kitab Dalilul Falihin 1/415 ketika beliau mensyarah hadits
‘Fa’alaikum Bisunnati’, berkata: “Artinya jalanku dan langkahku yang
aku berjalan di atasnya dari apa-apa yang aku telah rincikan kepada
kalian dari hukum-hukum i’tiqad (keyakinan), dan amalan-amalan baik yang
wajib, sunnah, dan sebagainya.”
Imam Shan’ani berkata dalam kitab
Subulus Salam 1/187, ketika beliau mensyarah hadits Abu Sa’id Al-Khudri,
“di dalam hadits tersebut disebutkan kata ‘Ashobta As Sunnah’, yaitu
jalan yang sesuai dengan syari’at.”
Demikianlah kalau kita ingin
meneliti nash-nash yang menyebutkan kata “As Sunnah”, maka akan jelas
apa yang dimaukan dengan kata tersebut yaitu: “Jalan yang terpuji dan
langkah yang diridhai yang telah dibawa oleh Rasulullah. Dari sini
jelaslah kekeliruan orang-orang yang menisbahkan diri kepada ilmu yang
menafsirkan kata sunnah dengan istilah ulama fiqih sehingga mereka
terjebak dalam kesalahan yang fatal.
As Sunnah Menurut Ahli Hadits
As
sunnah menurut jumhur ahli hadits adalah sama dengan hadits yaitu:
“Apa-apa yang diriwayatkan dari Rasulullah baik berbentuk ucapan,
perbuatan, ketetapan, dan sifat baik khalqiyah (bentuk) atau khuluqiyah
(akhlak).
As Sunnah Menurut Ahli Ushul Fiqih
Menurut Ahli Ushul Fiqih, As Sunnah adalah dasar dari dasar-dasar hukum syaria’at dan juga dalil-dalilnya.
Al
Amidy dalam kitab Al Ihkam 1/169 mengatakan: “Apa-apa yang datang dari
Rasulullah dari dalil-dalil syari’at yang bukan dibaca dan bukan pula
mu’jizat atau masuk dalam katagori mu’jizat”.
As Sunnah Di Sisi Ulama Fiqih
As Sunnah di sisi mereka adalah apa-apa yang apabila dikerjakan mendapatkan pahala dan apabila tidak dikerjakan tidak berdosa.
Di
sini bisa dilihat, mereka yang mengaku sebagai ahlus sunnah -dengan
menyandarkan kepada ahli fikih-, tidak memiliki dalil yang jelas
sedikitpun dan tidak memiliki rujukan, hanya sebatas simbol yang sudah
usang. Jika mereka memakai istilah syariat dan generasi pertama, mereka
benar-benar telah sangat jauh. Jika mereka memakai istilah ahli fiqih
niscaya mereka akan bertentangan dengan banyak permasalahan. Jika mereka
memakai istilah ulama ushul merekapun tidak akan menemukan jawabannya.
Jika mereka memakai istilah ulama hadits sungguh mereka tidak memilki
peluang untuk mempergunakan istilah mereka. Tinggal istilah bahasa yang
tidak bisa dijadikan sebagai hujjah dalam melangkah, terlebih
menghalalkan sesuatu atau mengharamkannya.
Siapakah Ahlus Sunnah
Ahlu Sunnah memiliki ciri-ciri yang sangat jelas di mana ciri-ciri itulah yang menunjukkan hakikat mereka.
1.
Mereka adalah orang-orang yang mengikuti jalan Rasulullah dan jalan
para sahabatnya, yang menyandarkan pada Al Qur’an dan As Sunnah dengan
pemahaman salafus shalih yaitu pemahaman generasi pertama umat ini dari
kalangan shahabat, tabi’in dan generasi setelah mereka. Rasulullah
bersabda:
“ Sebaik-baik manusia adalah generasiku kemudian
orang-orang setelah mereka kemudian orang-orang setelah mereka.” (HR.
Bukhari, Muslim, Ahmad)
2. Mereka kembalikan segala bentuk
perselisihan yang terjadi di kalangan mereka kepada Al Qur’an dan As
Sunnah dan siap menerima apa-apa yang telah diputuskan oleh Allah dan
Rasulullah. Firman Allah:
“Maka jika kalian berselisih dalam satu
perkara, kembalikanlah kepada Allah dan Rasulullah jika kalian beriman
kepada Allah dan hari akhir. Dan yang demikian itu adalah baik dan lebih
baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59)
“Tidak pantas bagi seorang
mukmin dan mukminat apabila Allah dan Rasul-Nya memutuskan suatu perkara
untuk mereka, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan
mereka. Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya sungguh dia telah
sesat dengan kesesatan yang nyata. (QS. Al Ahzab: 36)
3. Mereka mendahulukan ucapan Allah dan Rasul daripada ucapan selain keduanya. Firman Allah:
“Hai
orang-orang yang beriman janganlah kalian mendahulukan (ucapan selain
Allah dan Rasul ) terhadap ucapan Allah dan Rasul dan bertaqwalah kalian
kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(QS. Al Hujurat: 1)
4. Menghidupkan sunnah Rasulullah baik dalam
ibadah mereka, akhlak mereka, dan dalam semua sendi kehidupan, sehigga
mereka menjadi orang asing di tengah kaumnya. Rasulullah bersabda tetang
mereka:
“Sesungguhnya Islam datang dalam keadaan asing dan akan
kembali pula daam keadaan asing, maka berbahagialah orang-orang
dikatakan asing.” (HR. Muslim dari hadits Abu Hurairah dan Ibnu Umar
radhiallahu ‘anhuma)
5. Mereka adalah orang-orang yang sangat
jauh dari sifat fanatisme golongan. Dan mereka tidak fanatisme kecuali
kepada Kalamullah dan Sunnah Rasulullah. Imam Malik mengatakan: “Tidak
ada seorangpun setelah Rasulullah yang ucapannya bisa diambil dan
ditolak kecuali ucapan beliau.”
6. Mereka adalah orang-orang
yang menyeru segenap kaum muslimin agar bepegang dengan sunnah
Rasulullah dan sunnah para shahabatnya.
7. Mereka adalah
orang-oang yang memikul amanat amar ma’ruf dan nahi munkar sesuai dengan
apa yang dimaukan Allah dan Rasul-Nya. Dan mereka mengingkari segala
jalan bid’ah (lawannya sunnah) dan kelompok-kelompok yang akan
mencabik-cabik barisan kaum muslimin.
8. Mereka adalah
orang-orang yang mengingkari undang-undang yang dibuat oleh manusia yang
menyelisihi undang-undang Allah dan Rasulullah.
9. Mereka adalah orang-orang yang siap memikul amanat jihad fi sabilillah apabila agama menghendaki yang demikian itu.
Syaikh
Rabi’ dalam kitab beliau Makanatu Ahli Al Hadits hal. 3-4 berkata:
“Mereka adalah orang-orang yang menempuh manhaj (metodologi)-nya para
sahabat dan tabi’in dalam berpegang terhadap kitabullah dan sunnah
Rasulullah dan menggigitnya dengan gigi geraham mereka. Mendahulukan
keduanya atas setiap ucapan dan petunjuk, kaitannya dengan aqidah,
ibadah, mu’amalat, akhlaq, politik, maupun, persatuan. Mereka adalah
orang-orang yang kokoh di atas prinsip-prinsip agama dan
cabang-cabangnya sesuai dengan apa yang diturunkah Allah kepada hamba
dan Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alahi wasallam. Mereka adalah
orang-orang yang tampil untuk berdakwah dengan penuh semangat dan
kesungguh-sungguhan. Mereka adalah para pembawa ilmu nabawi yang
melumatkan segala bentuk penyelewengan orang-orang yang melampaui batas,
kerancuan para penyesat dan takwil jahilin. Mereka adalah orang-orang
yang selalu mengintai setiap kelompok yang menyeleweng dari manhaj Islam
seperti Jahmiyah, Mu’tazilah, Khawarij, Rafidah (Syi’ah), Murji’ah,
Qadariyah, dan setiap orang yang menyeleweng dari manhaj Allah,
mengikuti hawa nafsu pada setiap waktu dan tempat, dan mereka tidak
pernah mundur karena cercaan orang yang mencerca.”
Ciri Khas Mereka
1.
Mereka adalah umat yang baik dan jumlahnya sangat sedikit, yang hidup
di tengah umat yang sudah rusak dari segala sisi. Rasulullah bersabda:
“Berbahagialah
orang yang asing itu (mereka adalah) orang-orang baik yang berada di
tengah orang-orang yang jahat. Dan orang yang memusuhinya lebih banyak
daripada orang yang mengikuti mereka.” (Shahih, HR. Ahmad)
Ibnul
Qoyyim dalam kitabnya Madarijus Salikin 3/199-200, berkata: “Ia adalah
orang asing dalam agamanya dikarenakan rusaknya agama mereka, asing pada
berpegangnya dia terhadap sunnah dikarenakan berpegangnya manusia
terhadap bid’ah, asing pada keyakinannya dikarenakan telah rusak
keyakinan mereka, asing pada shalatnya dikarenakan jelek shalat mereka,
asing pada jalannya dikarenakan sesat dan rusaknya jalan mereka, asing
pada nisbahnya dikarenakan rusaknya nisbah mereka, asing dalam
pergaulannya bersama mereka dikarenakan bergaul dengan apa yang tidak
diinginkan oleh hawa nafsu mereka”.
Kesimpulannya, dia asing
dalam urusan dunia dan akhiratnya, dan dia tidak menemukan seorang
penolong dan pembela. Dia sebagai orang yang berilmu ditengah
orang-orang jahil, pemegang sunnah di tengah ahli bid’ah, penyeru kepada
Allah dan Rasul-Nya di tengah orang-orang yang menyeru kepada hawa
nafsu dan bid’ah, penyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari
kemungkaran di tengah kaum di mana yang ma’ruf menjadi munkar dan yang
munkar menjadi ma’ruf.”
Ibnu Rajab dalam kitab Kasyfu Al Kurbah
Fi Washfi Hal Ahli Gurbah hal 16-17 mengatakan: “Fitnah syubhat dan hawa
nafsu yang menyesatkan inilah yang telah menyebabkan berpecahnya ahli
kiblat menjadi berkeping-keping. Sebagian mengkafirkan yang lain
sehingga mereka menjadi bermusuh-musuhan, berpecah-belah, dan
berpartai-partai yang dulunya mereka berada di atas satu hati. Dan tidak
ada yang selamat dari semuanya ini melainkan satu kelompok. Merekalah
yang disebutkan dalam sabda Rasulullah: “Dan terus menerus sekelompok
kecil dari umatku yang membela kebenaran dan tidak ada seorangpun yang
mampu memudharatkannya siapa saja yang menghinakan dan menyelisihi
mereka, sampai datangnya keputusan Allah dan mereka tetap di atas yang
demikian itu.”
2. Mereka adalah orang yang berada di akhir jaman
dalam keadaan asing yang telah disebutkan dalam hadits, yaitu
orang-orang yang memperbaiki ketika rusaknya manusia. Merekalah
orang-orang yang memperbaiki apa yang telah dirusak oleh manusia dari
sunnah Rasulullah. Merekalah orang-orang yang lari dengan membawa agama
mereka dari fitnah. Mereka adalah orang yang sangat sedikit di
tengah-tengah kabilah dan terkadang tidak didapati pada sebuah kabilah
kecuali satu atau dua orang, bahkan terkadang tidak didapati satu
orangpun sebagaimana permulaan Islam.
Dengan dasar inilah, para
ulama menafsirkan hadits ini. Al Auza’i mengatakan tentang sabda
Rasulullah: “Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali dalam
keadaan asing.” Adapun Islam itu tidak akan pergi akan tetapi Ahlus
Sunnah yang akan pergi sehingga tidak tersisa di sebuah negeri melainkan
satu orang.” Dengan makna inilah didapati ucapan salaf yang memuji
sunnah dan mensifatinya dengan asing dan mensifati pengikutnya dengan
kata sedikit.” (Lihat Kitab Ahlul Hadits Hum At Thoifah Al Manshurah hal
103-104)
Demikianlah sunnatullah para pengikut kebenaran.
Sepanjang perjalanan hidup selalu dalam prosentase yang sedikit. Allah
berfiman:
“Dan sedikit dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.”
Dari
pembahasan yang singkat ini, jelas bagi kita siapakah yang dimaksud
dengan Ahlus Sunnah dan siapa-siapa yang bukan Ahlus Sunnah yang hanya
penamaan semata. Benarlah ucapan seorang penyair mengatakan :
Semua orang mengaku telah menggapai si Laila
Akan tetapi si Laila tidak mengakuinya
Walhasil
Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang mengikuti Al Qur’an dan As Sunnah
dengan pemahaman, amalan, dan dakwah salafus shalih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar