Siapa
pun mungkin mengetahui, kemampuan akal anak-anak tidak sesempurna yang
ada pada orang dewasa. Anak memiliki kemampuan memahami dan mencerna
yang masih sangat terbatas.
Karena itulah, kadangkala muncul
kesalahan atau kekeliruan yang terkadang dia sendiri belum mampu
memahami dan mengerti bahwa tindakannya itu adalah suatu kesalahan.
Menyogok
mulut adik, contoh ringannya, terkadang bermula dari maksud baik untuk
menyuapi si adik. Namun justru kadang menjadi kesalahan di mata
orangtua, karena –sekali lagi dengan keterbatasan sang anak– belum mampu
melakukannya dengan benar. Sementara dia sendiri belum mampu memandang
hal itu sebagai suatu kesalahan.
Demikianlah keadaan seorang anak
dengan segala keterbatasannya. Sehingga syariat pun meringankan beban
amalan bagi anak kecil, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dinukilkan oleh Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ
حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصِّبْيَانِ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ
الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَعْقِلَ
“Diangkat pena dari tiga golongan:
orang yang tidur hingga dia terjaga, anak kecil hingga dia baligh, dan
orang gila sampai kembali akalnya.” (HR. Abu Dawud no. 4403, dikatakan
oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud:
shahih)
Di samping itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghasung kita untuk bersikap lemah
lembut dan menjauhi kekasaran dalam segala hal, termasuk kepada
anak-anak kita tentunya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
bersabda kepada istri beliau, 'Aisyah radhiyallahu ‘anha:
يَا
عَائِشَةُ، إِنَّ اللهَ رَفِيْقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ وَيُعْطِي عَلَى
الرِّفْقِ مَا لاَ يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ وَمَا لاَ يُعْطِي عَلَى مَا
سِوَاهُ
“Wahai 'Aisyah, sesungguhnya Allah itu Maha Lembut dan
menyukai kelembutan, dan Dia memberikan pada kelembutan apa yang tidak
Dia berikan pada kekasaran, maupun pada segala sesuatu selainnya.” (HR.
Al-Bukhari no. 6928 dan Muslim no. 2593)
Al-Qadhi 'Iyadh
rahimahullahu menjelaskan bahwa dengan kelemahlembutan ini akan dapat
dicapai berbagai tujuan, dan akan mudah pula untuk mendapatkan apa yang
diharapkan, yang semua itu tak dapat diperoleh dengan selain kelembutan.
(Syarh Shahih Muslim, 16/144)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga memuji orang yang memiliki sifat lemah lembut, dalam sabda
beliau yang dinukilkan oleh Abud Darda` radhiyallahu ‘anhu:
مَنْ
أُعْطِيَ حَظَّهُ مِنَ الرِّفْقِ فَقَدْ أُعْطِيَ حَظَّهُ مِنَ الْخَيْرِ،
وَمَنْ حُرِمَ حَظَّهُ مِنَ الرِّفْقِ فَقَدْ حُرِمَ حَظَّهُ مِنَ
الْخَيْرِ
“Barangsiapa yang diberikan bagiannya berupa kelembutan,
berarti dia diberikan bagiannya berupa kebaikan, dan barangsiapa
dihalangi bagiannya berupa kelembutan, berarti dia dihalangi dari
bagiannya berupa kebaikan.” (HR. At-Tirmidzi no.2013, dikatakan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi:
shahih)
Oleh karena itu pula kita, orangtua, mestinya
berlapang-lapang dalam memberikan hukuman dan celaan pada anak-anak.
Terlebih lagi pada hal-hal yang bukan merupakan kemaksiatan. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling lapang dalam
memudahkan perkara. Sebagaimana dikabarkan oleh istri beliau, 'Aisyah
radhiyallahu ‘anha:
مَا خُيِّرَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ قَطُّ إِلاَّ أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ
يَكُنْ إِثْمًا، فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدُ النَّاسِ مِنْهُ
“Tak
pernah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberikan pilihan di
antara dua perkara, kecuali beliau pasti memilih yang paling ringan di
antara keduanya selama perkara itu bukan suatu dosa. Apabila perkara itu
suatu dosa, maka beliau adalah orang yang paling jauh darinya.” (HR.
Al-Bukhari no.3560 dan Muslim no.2327)
Hadits ini menunjukkan
disenanginya memilih sesuatu yang lebih mudah dan lebih ringan, selama
hal itu bukan sesuatu yang haram atau makruh. (Syarh Shahih Muslim,
15/82)
Kelapangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini juga
dialami sendiri oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang melayani
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam semenjak usia kanak-kanak. Anas
radhiyallahu ‘anhu menceritakan:
لـَمَّا قَدِمَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِيْنَةَ، أَخَذَ أَبُو طَلْحَةَ بِيَدِي
فَانْطَلَقَ بِي إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ أَنَسًا غُلاَمٌ كَيِّسٌ
فَلْيَخْدُمْكَ. قَالَ: فَخَدَمْتُهُ فِي السَّفَرِ وَالْحَضَرِ، وَاللهِ
مَا قَالَ لِي لِشَيْءٍ صَنَعْتُهُ: لِمَ صَنَعْتَ هَذَا هَكَذَا؟ وَلاَ
لِشَيْءٍ لَمْ أَصْنَعْهُ: لِمَ لَمْ تَصْنَعْ هَذَا هَكَذَا؟
“Ketika
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, Abu Thalhah
menggamit tanganku. Pergilah ia bersamaku menghadap Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mengatakan, ‘Wahai Rasulullah,
sesungguhnya Anas adalah anak yang cerdas, maka izinkan dia melayanimu.’
Maka aku pun melayani beliau ketika bepergian maupun menetap. Demi
Allah, tak pernah beliau mengatakan tentang sesuatu yang kukerjakan,
‘Mengapa kau lakukan hal ini seperti ini?’ Tidak pula beliau mengatakan
tentang sesuatu yang tak kukerjakan, ‘Mengapa tidak kaukerjakan hal ini
seperti ini?’.” (HR. Al-Bukhari no.2768 dan Muslim no. 2309)
Ketika
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu –yang saat itu masih kanak-kanak–
enggan melakukan sesuatu yang beliau perintahkan, beliau tidak mencerca
dan menghukumnya. Dikisahkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
كَانَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَحْسَنِ النَّاسِ
خُلُقًا، فَأَرْسَلَنِي يَوْمًا لِحَاجَةٍ. فَقُلْتُ: وَاللهِ، لاَ
أَذْهَبُ. وَفِي نَفْسِي أَنْ أَذْهَبَ لِمَا أَمَرَنِي بِهِ نَبِيُّ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَرَجْتُ حَتَّى أَمُرُّ عَلَى
صِبْيَانٍ وَهُمْ يَلْعَبُوْنَ فِي السُّوقِ، فَإِذَا رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ قَبَضَ بِقَفَايَ مِنْ وَرَائِي،
قَالَ: فَنَظَرْتُ إِلَيْهِ وَهُوَ يَضْحَكُ. فَقَالَ: يَا أُنَيْسُ،
أَذَهَبْتَ حَيْثُ أَمَرْتُكَ؟ قَالَ قُلْتُ: نَعَمْ، أَنَا أَذْهَبُ، يَا
رَسُوْلَ اللهِ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang
yang paling baik akhlaknya. Suatu hari, beliau pernah menyuruhku untuk
suatu keperluan. Maka kukatakan, “Demi Allah, saya tidak mau pergi!”
Sementara dalam hatiku, aku berniat untuk pergi guna melaksanakan
perintah Nabiyullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku pun keluar hingga
melewati anak-anak yang sedang bermain-main di pasar. Tiba-tiba muncul
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau memegang tengkukku dari
belakang. Aku pun memandang beliau yang sedang tertawa. Beliau
mengatakan, “Wahai Anas kecil, engkau pergi juga melakukan perintahku?”
Aku menjawab, “Ya, saya pergi, wahai Rasulullah!” (HR. Muslim no. 2310)
Ini
semua menunjukkan kesempurnaan akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, bagusnya pergaulan, serta kesabaran dan kelapangan beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Syarh Shahih Muslim, 15/70)
Namun
jika suatu perkara itu merupakan perbuatan dosa, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam pun tak segan untuk melarang. Seperti ketika cucu
beliau makan sebutir kurma yang berasal dari kurma sedekah, sementara
keluarga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam haram memakan sedekah.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menceritakan peristiwa ini:
أَخَذَ
الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ تَمْرَةً مِنْ تَمْرِ الصَّدَقَةِ فَجَعَلَهَا فِي
فِيْهِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ n: كِخْ كِخْ، ارْمِ بِهَا، أَمَا عَلِمْتَ
أَنَّا لاَ نَأْكُلُ الصَّدَقَةَ؟
Al-Hasan bin 'Ali radhiyallahu
‘anhuma memungut sebutir kurma dari kurma sedekah, lalu dia masukkan
kurma itu ke mulutnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
bersabda, “Kikh, kikh (tinggalkan dan buang barang itu, pent.)! Buang
kurma itu! Tidakkah kau tahu, kita ini tidak boleh makan sedekah?” (HR.
Muslim no. 1069)
Juga dalam permasalahan membiasakan ibadah shalat
pada anak-anak. Ketika mengajarkan amalan yang agung ini, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orangtua untuk memukul
anak-anak yang enggan menunaikan shalat, meremehkan dan
menyia-nyiakannya, jika mereka telah mencapai usia sepuluh tahun.
Pukulan ini bukan untuk menyakiti si anak, melainkan untuk mendidik dan
meluruskan mereka. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini
disampaikan oleh 'Amr ibnul ‘Ash radhiyallahu ‘anhu:
مُرُوا
أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ،
وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ
فِي الْمَضَاجِعِ
“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat
ketika mereka berusia tujuh tahun dan pukullah mereka bila enggan
melakukannya pada usia sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur di
antara mereka.” (HR. Ahmad, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani
rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’ush Shaghir no. 5744: hadits ini
hasan)
Demikian pula yang ada pada para sahabat. Mereka tidak segan
bersikap keras bila melihat salah seorang dari keluarganya berbuat
kemungkaran. Sebagaimana yang dilakukan oleh Abdullah bin ‘Umar
radhiyallahu ‘anhuma ketika melihat salah seorang di antara keluarganya
bermain dadu. Dikisahkan oleh Nafi’, maula Ibnu ‘Umar radhiyallahu
‘anhuma:
أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ إِذَا وُجِدَ أَحَدٌ مِنْ أَهْلِهِ يَلْعَبُ بِالنَّرْدِ ضَرَبَهُ وَكَسَرَهَا
“Apabila
Abdullah bin ‘Umar mendapati salah seorang dari anggota keluarganya
bermain dadu, maka beliau memukulnya dan memecahkan dadu itu.”
(Dikatakan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabul
Mufrad no. 960: shahihul isnad mauquf)
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah ditanya tentang pendidikan terhadap anak yatim. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pun menjawab:
إِنِّي لَأَضْرِبُ الْيَتِيْمَ حَتَّى يَنْبَسِطَ
“Sesungguhnya
aku pernah memukul anak yatim sampai (menangis) tertelungkup.”
(Dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih
Al-Adabul Mufrad no.105: shahihul isnad)
Begitulah yang dilakukan
oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, sebagaimana orangtua terhadap anaknya.
Dia memberikan hukuman pula pada anak yatim yang ada dalam asuhannya,
sampai tertelungkup di atas tanah, sebagaimana yang biasa terjadi pada
anak-anak bila dimarahi, mereka telungkup dan menangis. Pukulan ini
dimaksudkan untuk memberikan pendidikan kepada si anak, bukan pukulan
yang menyakitkan.
Inilah bimbingan Islam yang sempurna untuk kita
–orangtua– dalam membimbing dan mendidik anak-anak kita, agar kita dapat
mendudukkan sesuatu sesuai kadarnya dan meletakkan sesuatu pada
tempatnya. Inilah pengajaran kepada kita yang akan
mempertanggungjawabkan pendidikan anak-anak kita di hadapan Allah k.
وَالْـمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُوْلَةٌ عَنْهُمْ
“Seorang
istri adalah penanggung jawab rumah tangga dan anak-anak suaminya serta
kelak akan ditanya tentang mereka.” (HR. Al-Bukhari no. 5188 dan Muslim
no. 1829)
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar