Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ
أُمَّتِيْ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَنْ أبَى قَالُوا : يَا
رَسُوْلَ اللهِ وَمَنْ يَأْبَى؟ قَالَ : مَنْ أطَاعَنِيْ دَخَلَ
الْجَنَّةَ، وَمَنْ عَصَانِيْ فَقَدْ أَبَى
“Seluruh umatku akan
masuk al-Jannah (Surga) kecuali orang yang enggan. Para shahabat
bertanya, ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang yang enggan?’ Rasulullah
menjawab, ‘Barang siapa yang menaatiku, dia akan masuk al-Jannah, dan
barang siapa yang bermaksiat (tidak taat) kepadaku, maka dialah orang
yang enggan (yakni enggan masuk al-Jannah, pen.).” (HR. al-Bukhari)
Pembaca
yang semoga dirahmati Allah subhanahu wa ta’ala, sungguh indah ucapan
al-Imam Muhammad at-Tamimi rahimahullah, “Sesungguhnya Allah telah
menciptakan dan memberikan rezeki kepada kita, dan (kemudian) Dia tidak
membiarkan kita begitu saja. Namun Allah telah mengutus kepada kita
seorang rasul (Muhammad). Barang siapa yang menaatinya, dia akan masuk
al-Jannah, dan barang siapa yang bermaksiat kepadanya, dia akan masuk
an-Nar (neraka).”
Walaupun ringkas, kalimat yang beliau tuangkan
dalam kitabnya Tsalatsatul Ushul tersebut mengandung makna yang sangat
luas dan mendalam. Allah menciptakan manusia dan jin di dunia ini
tidaklah sia-sia. Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan membiarkan mereka
hidup tanpa aturan dan syari’at yang menuntun mereka. Allah subhanahu
wa ta’ala menciptakan mereka agar beribadah kepada-Nya. Sebagai Dzat
Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Dia juga memberikan rezeki dan
berbagai kenikmatan kepada mereka untuk memudahkan dalam merealisasikan
ibadah tersebut.
Namun untuk mewujudkan ibadah sebagaimana yang
dikehendaki Allah, kita tidak bisa menunaikannya dengan baik dan benar
jika tidak ada yang menuntun dan membimbing kita sesuai dengan yang
dikehendaki oleh-Nya. Oleh karena itu, dengan hikmah dan kasih
sayang-Nya pula, Allah mengutus Nabi-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam, sebagai rasul terakhir dan penutup para nabi untuk
menjelaskan tata cara ibadah yang dikehendaki oleh-Nya.
Sehingga
seluruh amal ibadah yang tidak sesuai dengan ajaran beliau maka ibadah
itu akan sia-sia. Inilah sesungguhnya hakekat ketaatan kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu setiap ibadah kepada Allah harus
dilakukan sesuai dengan ajaran dan tuntunan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.Maka seseorang yang benar-benar merealisasikan
ketaatan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam inilah yang
akan mendapatkan jaminan al-Jannah. Sebagaimana sabda beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam di atas.
Ketika seseorang telah mengikrarkan
dua kalimat syahadat, tidaklah cukup hanya sebatas di lisan saja. Namun
harus pula diwujudkan dalam bentuk amalan nyata. Yaitu dia harus
mengikhlaskan segala bentuk ibadahnya hanya untuk Allah semata serta
ibadah yang dia laksanakan harus ada contoh dan petunjuk dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketaatan kepada Allah subhanahu
wa ta’ala dan ketaatan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallammerupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Seorang yang
menginginkan untuk senantiasa taat kepada Allah, maka di antara wujud
ketaatan kepada-Nya adalah taat kepada Rasulullah. Sedangkan ketaatan
kepada Rasulullah merupakan bukti akan ketaatan dia kepada Allah. Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya),
“Barang siapa yang menaati Rasul itu (Nabi Muhammad), sesungguhnya ia telah menaati Allah.” (An-Nisa’: 80)
Sehingga
barang siapa yang bermaksiat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam serta tidak mau mendengar dan taat kepada beliau, maka berarti
dia juga telah bermaksiat kepada Allah dan tidak mau taat serta tunduk
kepada Penciptanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللهَ
“Barang
siapa menaatiku, sungguh dia telah menaati Allah, dan barang siapa
bermaksiat (tidak taat) kepadaku, sungguh dia telah bermaksiat kepada
Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Bagaimana bisa seorang yang
tidak taat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dikatakan
sebagai orang yang tidak taat kepada Allah? Ya, karena tidaklah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda atau menetapkan suatu
syariat, melainkan hal itu merupakan wahyu dari Allah subhanahu wa
ta’ala. Allah lberfirman (artinya),
“Dan tidaklah dia berucap
menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu
yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3-4)
Maka dari itu,
banyak sekali ayat tentang perintah untuk menaati Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallamyang disebutkan beriringan dengan perintah untuk
menaati Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman
(artinya),
“Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya jika kalian adalah orang-orang yang beriman.” (Al-Anfal: 1)
Dalam
ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menegaskan kepada kaum mukminin jika
mereka memang benar-benar telah mengikrarkan keimanan, maka mereka
harus siap untuk tunduk dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena
keimanan (yang jujur) itu akan mendorong seseorang untuk taat kepada
Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana orang yang tidak menaati Allah dan
Rasul-Nya bukanlah orang yang beriman (dengan keimanan yang benar).
Barang siapa yang kurang ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka
hal ini menunjukkan kurangnya kadar keimanannya. (Lihat Taisir
al-Karimir Rahman)
Dari sini jelaslah bahwa di antara syarat
sempurnanya keimanan seseorang adalah dengan mewujudkan ketaatan kepada
Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Buah Ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam
Orang
yang senantiasa istiqamah di atas ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya
akan meraih sekian banyak kebaikan. Satu kebaikan saling berkaitan
dengan kebaikan yang lainnya. Di antara kebaikan-kebaikan tersebut
adalah:
1. Mendapatkan limpahan kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya),
“Dan taatilah Allah dan Rasul, pasti kalian diberi rahmat.” (Ali ‘Imran: 132)
Asy-Syaikh
Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Ketaatan kepada Allah
dan Rasul-Nya merupakan salah satu sebab diraihnya rahmat (kasih sayang)
Allah.”
Rahmat Allah subhanahu wa ta’ala merupakan kunci utama bagi seseorang untuk merasakan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
2. Mendapatkan hidayah
Allah
subhanahu wa ta’ala akan memberikan hidayah kepada orang-orang yang
dikehendaki-Nya. Tentu, orang yang dirahmati oleh-Nya sajalah yang akan
mendapatkan anugerah besar ini. Mereka itulah yang senantiasa menjaga
ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu
‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam ayat-Nya (artinya),
“Dan jika kalian taat kepadanya (Nabi Muhammad), niscaya kalian mendapat hidayah (petunjuk).” (An-Nur: 54)
Yaitu
hidayah (petunjuk) menuju ash-Shirath al-Mustaqim (jalan yang lurus),
baik (petunjuk untuk) berkata maupun beramal. Tidak ada jalan bagi
kalian untuk mendapatkan hidayah kecuali dengan menaati
beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam. Tanpa ketaatan kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak mungkin bahkan mustahil untuk
mendapatkan hidayah. (Lihat Taisir al-Karimir Rahman).
3. Meraih kemenangan besar
Sebagaimana di dalam firman-Nya (artinya),
“Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Al-Ahzab: 71)
Kemenangan
yang besar ialah dengan dimasukkan ke dalam al-Jannah yang luasnya
seluas langit dan bumi. Allah subhanahu wa ta’ala sediakan al-Jannah
bagi orang-orang yang menaati-Nya dan menaati Rasul-Nya. Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman (artinya),
“Dan barang siapa yang taat
kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Dia akan memasukkannya ke dalam
al-Jannah yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal
di dalamnya, dan itulah kemenangan yang besar.” (An-Nisa’: 13)
4. Dikumpulkan bersama para nabi, para shiddiqin, syuhada’, dan shalihin
Al-Jannah
itu bertingkat-tingkat. Penduduknya akan menempati tingkatan al-Jannah
sesuai dengan kadar keimanan dan ketakwaannya. Semakin tinggi dan
sempurna keimanan serta ketakwaan seorang hamba, semakin tinggi pula
tingkatan al-Jannah yang akan dia tempati.
Sudah pasti bahwa
tingkatan al-Jannah yang paling tinggi ditempati oleh hamba-hamba-Nya
yang paling mulia. Mereka itulah para Nabi, para shiddiqin (orang-orang
yang sempurna pembenaran dan keimanan mereka terhadap syariat yang
dibawa oleh Nabi n), para syuhada’, dan orang-orang shalih. Bersama
merekalah orang-orang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya akan
dikumpulkan di al-Jannah nanti. Hal ini sebagaimana firman-Nya
(artinya),
“Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul (Nabi
Muhammad), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang
dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiqin, para
syuhada’, dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang
sebaik-baiknya.” (An-Nisa’: 69)
Para pembaca rahimakumullah. Ayat
ini juga mengingatkan kita akan do’a yang senantiasa kita panjatkan
ketika membaca surah al-Fatihah (artinya),
“Tunjukilah kami
ash-shirath al-mustaqim (jalan yang lurus). (Yaitu) jalan orang-orang
yang telah engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka
yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (Al-Fatihah:
6-7)
Jalan yang lurus (ash-shirath al-mustaqim) adalah jalannya
orang-orang yang telah dianugerahi nikmat oleh Allah. Siapakah mereka
itu? Pembaca bisa lihat dalam surah an-Nisa’ di atas, yaitu jalannya
para nabi, para shiddiqin, para syuhada’, dan orang-orang shalih.
Siang
dan malam senantiasa kita panjatkan doa tersebut dalam shalat kita.
Sehingga agar doa kita tersebut dikabulkan oleh Allah subhanahu wa
ta’ala, maka hendaknya kita berusaha semaksimal mungkin untuk selalu
menaati Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam seluruh sisi kehidupan kita, baik dalam hal aqidah, ibadah,
mu’amalah, maupun akhlak. Semoga Allah menjauhkan kita dari golongan
yang dinyatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Dan barang siapa yang bermaksiat (tidak taat) kepadaku, maka dialah orang yang enggan (yakni enggan masuk al-Jannah, pen.).”
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya),
“Dan
barang siapa bermaksiat (mendurhakai) Allah dan Rasul-Nya dan melanggar
ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Dia akan memasukkannya ke dalam
an-Nar, sedang dia kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang
menghinakan.” (An-Nisa’: 14)
Wallahu a’lamu bish shawab..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar