Setelah pernikahan diikrarkan. Setelah akad ditetapkan dan diterima,
idealnya tak seorang suami atau istri pun yang mau merana hidupnya
bersama pasangannya. Pernikahan adalah lembaga kecil antara suami istri
yang bermuamalah bersama sehingga tumbuhlah sakinah, ketenangan,
mawaddah, cinta, serta rohmah, belas kasih.
Nuansa rumah tangga yang diliputi samara ini bisa saja tiba-tiba
berubah menjadi lesu bila salah satu pasutri tidak memperhatikan
pasangannya. Salah satunya bisa jadi istri merana bila suami
menelantarkan hak-haknya.
Di antara faktor penyebab istri merana ialah:
1. Ibadah yang berlebihan
Ibadah merupakan amal yang begitu agung nilainya, bahkan merupakan
salah satu tujuan sebuah pernikahan. Namun, beribadah yang tidak pada
proporsinya justru buruk akibatnya. Suami yang terlalu disibukkan oleh
urusan ibadah yang berlebihan bisa menjadi pemicu terjadinya pisah
ranjang. Dan kasus seperti ini bahkan telah terjadi sejak masa
sebaik-baik umat ini, yaitu pada beberapa sahabat Nabi n\ rodhiallohu
‘anhum ajma’in. Sebagaimana pada beberapa riwayat berikut ini:
Suatu ketika, Aisyah s\ menyebutkan sebuah kejadian bahwa Khuwailah
binti Hakim (istri Utsman bin Mazh’un) memasuki rumahnya. Dia masuk
rumahnya dalam keadaan lusuh dan memendam kesedihan. Melihat keadaannya
yang lusuh tersebut, maka Rosululloh n\ berkata: “Wahai Aisyah, alangkah
lusuhnya Khuwailah itu. Ada apa dengannya?” Aisyah s\, istri beliau
yang sangat beliau cintai tersebut mengatakan: ‘Wahai Rosululloh, suami
perempuan ini senantiasa puasa di siang hari dan senantiasa sholat
sepanjang malam, sehingga keadaan perempuan ini seakan-akan tidak
bersuami. Oleh sebab itulah ia merasa tidak perlu berhias, bahkan
membiarkan dirinya apa adanya seperti ini.’1
Riwayat lain, Salman al-Farisi a\ pernah mendatangi Abu Darda’ a\.
Keduanya ialah dua orang sahabat yang telah dipersaudarakan oleh
Rosululloh n\. Salman melihat Ummu Darda’ dalam keadaan lusuh, maka ia
pun bertanya: “Mengapa keadaanmu lusuh seperti ini?” Ummu Darda’
mengatakan: “Sesungguhnya saudaramu itu (Abu Darda’) tidak butuh dunia
(tidak tertarik pada istri). Dia senantiasa puasa di siang hari dan
sholat sepanjang malam.” Kemudian datanglah Abu Darda’ seraya
mempersilakan tamunya masuk dan menyuguhkan hidangan untuknya. Salman
berkata kepadanya, “Silakan makan juga.” Abu Darda’ menjawab: “Aku
sedang puasa.” Lalu Salaman berkata, “Aku bersumpah, demi Alloh, demi
dirimu sendiri, hendaklah engkau makan juga.” Maka keduanya pun akhirnya
makan.
Kemudian Salman bermalam di rumah Abu Darda’. Pada malam harinya
tatkala Abu Darda’ hendak melakukan qiyamul lail (sholat malam), Salman
melarangnya sambil berkata: “Sesungguhnya jasadmu memiliki hak yang
harus kamu tunaikan. Robbmu juga memiliki hak yang harus kamu tunaikan.
Istrimu juga memiliki hak yang harus kamu tunaikan. Oleh sebab itu,
puasalah di siang hari namun jangan setiap hari. Sholat malamlah tapi
jangan sepanjang malam. Datangilah istrimu dan berikan hak-hak kepada
setiap pemilik hak.” Dan tatkala menjelang Shubuh, Salman berkata,
“Sekarang bangunlah jika kamu mau sholat.” Setelah itu keduanya bangun,
mengambil wudhu serta sholat malam bersama. Kemudian keduanya keluar
untuk sholat Shubuh. Lalu Abu Darda’ mendatangi Nabi n\ seraya
menceritakan keadaannya tersebut. Nabi n\ pun bersabda: “Salman benar!”2
2. Bekerja yang berlebihan
Memang bekerja untuk mengais nafkah merupakan kewajiban seorang
suami. Namun bila bekerja dilakukan dengan cara berlebih-lebihan pun
tidak baik akibatnya. Hal itu akan nampak misalnya tatkala seorang suami
lebih banyak meninggalkan istrinya di rumah dengan banyak menghabiskan
waktunya di luar rumah. Bahkan tak jarang seorang suami yang beranjak
dari rumahnya pagi-pagi, lalu baru pulang ke rumahnya setelah larut
malam dengan seonggok kepenatan dan beban kepayahan. Kalau sudah
demikian, ia akan datang di rumah dan merasa tidak ada kebutuhan selain
segera merebahkan badan di atas kasur tanpa sempat bersantai sejenak
berbagi asa bersama istrinya.
Tidak semua pekerjaan dan amal-amal sholih harus dilakukan sampai
lupa waktu bersama istri dan keluarga di rumah. Dan tak selamanya suami
harus kerja lembur. Pekerjaan yang sudah menjadi rutinitas akan lebih
mudah diatur, sehingga suami harus pintar membagi waktu dan aktivitas
pekerjaannya agar tidak selamanya meninggalkan istri sendirian di rumah.
Apalagi harus membiarkannya tidur sendirian sementara pekerjaannya
sebenarnya bisa dilakukan di lain waktu. Begitu pula apabila memang
pekerjaan suami tidak tertentu saat dan tempatnya, maka tetap saja
pasutri harus pandai-pandai menjaga hubungan baik di antara mereka
berdua, agar taman pasutri tidak gersang dan bunga-bunganya tidak
menjadi layu lalu mengering.
3. Suami tak adil dalam ta’addud (menikah lagi)
Tidak semua laki-laki mampu menikahi lebih dari seorang wanita. Dan
Alloh Ta’ala pun telah memakluminya dan tidak menjadikan hal tersebut
sebagai alasan untuk tidak menikahi wanita sama sekali. Dia tetap
memerintahkan agar laki-laki menikah meski hanya dengan seorang wanita
saja.
Memang kenyataannya tidak semua suami yang menikah lagi bisa berbuat
ma’ruf terhadap semua istrinya. Hal demikian jelas akan memadhorotkan
diri suami sendiri, para istri juga rumah tangga. Adakalanya istri
pertama yang merana, namun tak jarang juga istri kedua yang
tertelantarkan. Padahal menikah lagi (ta’addud) bukanlah kezholiman,
namun merupakan keadilan bagi suami juga bagi para istri. Sehingga dalam
rumah tangga ta’addud diharamkan kezholiman. Rosululloh n\ bersabda
(yamg artinya):
“Siapa yang memiliki dua istri (atau lebih) lalu ia cenderung
(melebihkan) salah satunya, maka kelak ia akan datang pada hari kiamat
dalam keadaan pundaknya miring.”3
Fenomena merananya istri mungkin dianggap oleh sebagian suami hanya
sekadar hal kecil dalam sebuah rumah tangga. Padahal hal ini sangat
mungkin menimbulkan problem lain yang lebih serius, yaitu pisah ranjang,
tidak tidur bersama di atas satu tempat tidur. Memang problem pisah
tidur ini pun terkadang hanya sesaat saja, namun tak jarang yang
berujung kepada perpisahan yang begitu menelantarkan, yaitu talak. Nas’alullohal ‘afiyah.
[ Oleh: Ust. Abu Ammar al-Ghoyami ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar